KaroDaily,KABANJAHE-Tak banyak yang tahu jika kumandang azan luas terdengar di ibukota Kabupaten Karo, Kabanjahe, bermula dari dari satu bangunan masjid yang pada awal kelahirannya diinisiasi oleh beberapa pedagang asal Aceh. Ya, di tengah tumbuh kembanganya bangunan masjid lain di kota ini, Masjid Lama tetap menyimpan sejuta sejarah perkembangan dunia Islam di Karo.
Masjid Lama sendiri berdiri tegak di jalan Mesjid, Kelurahan Lau Cimba, Kabanjahe, tempat dimana suku Minang membaur dalam kebhinekaan dengan suku asli Karo. Awalnya masjid ini, seperti pernah disebutkan salah satu sumber beberapa tahun lalu, Muhammad Siddiq Surbakti dibangun atas dasar ketiadaan tempat sholat di kota Kabanjahe.Hingga kemudian mengundang pemikiran dari para pendatang, khususnya beberapa pedagang asal Aceh yang kerap mengunjungi kota ini untuk berbisnis.
Dalam usahanya kemudian, pedagang pedagang ini mendatangi Sibayak Lingga, yang kala itu merupakan penguasa adat dan tanah di sekitar kawasan yang kini dikenal dengan sebutan jalan Mesjid. Bak gayung bersambut, niat pedagang asal Aceh itu kontan mendapat respon positif dari Sibayak Lingga, malah mereka ( pedagang Aceh ) dipersilakan memilih lokasi sesuka hati yang dianggap tepat.
Begitu mendapat izin, pedagang Aceh ini langsung melakukan serangkaian langkah, salah satunya mencari dana untuk membangun masjid yang mereka impikan. Alhamdulillah, atas restu Allah, diperolehlah dana sebesar 250 rupiah ( uang kala itu) dari Sultan Langkat.
Sehingga pada tahun 1902, resmilah pembangunan masjid ini dimulai, usaha tak kenal lelah itu akhirnya menuai hasil yang apik, dua tahun berikutnya, 1904, Masjid yang kala itu tak diberi nama ini berdiri tegak.
Dengan model arsitektur panggung ala Melayu, mulanya terdapat dua bahagian utama masjid. Yang pertama adalah ruang utama sholat lengkap dengan mimbar khotbah dari kayu tua dihiasi ukiran ukiran kalimat Allah dan Muhammad serta bedug kayu.
Diatasnya, persis di tingkat tiga adalah ruang Muazin, tempat azan panggilan sholat dikumandangkan pertama kali oleh sang Muazin pertama, Tengku Katrun asal Aceh Selatan. Dari situlah lantas alunan indah Asma Allah terdengar setiap waktu sholat tiba di Kabanjahe.
Sejak saat itu pulalah, selain menjadi tempat sholat, di masjid yang hampir semua bahagiannya terbuat dari kayu itu juga digunakan sebagai pusat dakwah dan penyebaran Islam di Kabanjahe, termasuk di dalamnya kala Kandepag Pertama Kabupaten karo, H Sulaiman Tarigan memimpin.
Bukan hanya itu dalam perkembangannya, pengelola masjid menambah bangunan tambahan di samping yang digunakan untuk pusat pengajian dan belajar agama Islam. Pastinya padat sekali kegiatan kala itu di masjid ini.
Aktifitas perlahan mulai berkurang tatkala umat Islam di Kabanjahe membangun Mssjid Agung Kabanjahe di bilangan jalan Veteran, persis di pintu gerbang pusat kota Kabanjahe. Pembangunan Masjid Agung sendiri mengacu kepada bertambahnya umat Islam di Kabanjahe sehingga membuat masjid yang dibangun sebelum kemerdekaan itu tak lagi mampu menampung jamaah.
Namun biarpun jamaah sebahagiannya sudah merangkak pindah ke Masjid Agung Kabanjahe ( kini disebut Masjid Raya Karo Simalem –red) , di masjid yang kemudian disebut Masjid Lama masih digelar aktifitas sholat jumat. Kegiatan sholat Jumat di Masjid Lama baru berhenti setelah organisasi Islam Muhammadiyah membangun Masjid Taqwa tak jauh dari bangunan lamanya.
Hal ini menurut Muhammad Siddiq Surbakti, dilakukan atas sebuah kesepakatan dan di dasarkan pada pandangan bahwasannya di Masjid Taqwa yang berukuran jauh lebih besar diilhami lebih cocok untuk penyelenggaraan sholat jumat.
Dan seiring dengan kondisi itu, kini di Masjid Lama, tinggal digunakan untuk penyelenggaraan sholat lima waktu dan sholat tarawih saat bulan Ramadhan tiba. Tidak ada lagi terlihat kumandang azan dari atas kubah, tiada terlihat lagi anak anak mengaji di madrasah.
Tetapi biar pun sudah mengalami masa masa sepi, ada sebuah pesan yang bisa ditangkap dari sana , yakni pada perlunya Masjid Lama ini dilestarikan sebagai sebuah situs sejarah.
Harapannnya saat Ramadhan datang kali ini, bisa mengetuk hati semua pihak untuk mulai memacu diri buat sedikit memberi perhatian guna memperbaiki bahagian bahagian dari masjid yang mulai keropos. Apalagi sebagaimana disampaikan, tidak pernah ada renovasi sekalipun dari pemerintah atas masjid yang idealnya disebut disebut cagar budaya ini.
Karena bukan mustahil kalau itu dilakukan, ke depan masjid ini bisa menjadi daya tarik tersendiri, bukan hanya bagi masyarakat Karo, namun juga bagi masyarakat luar, termasuk di dalamnya para wisatawan yang memiliki hobby mengunjungi situs situs budaya bernuansa ibadah. (karodaily/nanang)
No comment
Leave a Reply Cancel reply
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
Artikelnya mengingatkan masa kecil dan remaja,saat masih sering bermain di sekitar masjid lama,Alhamdulillah sehat denga MAMA Muhammad Siddiq Surbakti.waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.mejuah-juah kita kerina.